Tahapan Perkembangan Perilaku dan Pribadi Peserta Didik

Tahapan Perkembangan Perilaku dan Pribadi Peserta Didik/Siswa/Anak- Semua pendidik baik di lembaga pendidikan formal maupun non formal tentunya sudah mengetahui dan memahami tentang pentingnya mendidik anak dengan memperhatikan tahapan pekembangan perilaku dan kepribadian para peserta didiknya. Tanpa mengetahui perilaku dan kepribadian peserta didik, seorang pendidik  akan mengalami kesulitan dalam proses mendidiknya sehingga berimbas pada kurang berhasilnya tujuan pendidikan.

A. Definisi perilaku, pribadi, dan peserta didik

Sahabat Pendidik, sebelum melanjutkan pembahasan tentang tahapan perilaku dan pribadi peserta didik, , terlebih dahulu saya arsipkan tentang berbagai definisinya sebagai berikut :

1. Pengertian Perkembangan
  • Perkembangan adalah suatu proses perubahan yang mengarah pada kemajuan dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan sifat-sifat psikis yang baru. Namun tidak semua perubahan-perubahan kemampuan dan sifat-sifat psikis dipengaruhi oleh perubahan struktur biologis. 
  • Perkembangan juga  dapat dikatakan sebagai proses perubahan  fungsi-fungsi psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis, ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam kurun waktu tertentu menuju kedewasaan. 
  • Perkembangan merupakan proses transmisi dari konstitusi psiko-fisik yang herediter, dirangsang oleh faktor-faktor lingkungan yang menguntungkan.
Setiap pribadi/individu yang normal mengalami tahapan perkembangan. Dalam mengadapi hidup yang normal dan berusia panjang individu akan mengalami fase-fase perkembangan: bayi, kanak-kanak, anak, remaja, dewasa dan masa tua.

Untuk memahami masalah perkembangan maka pendidik harus memahami tentang psikologi perkembangan. Psikologi perkembangan suatu disiplin ilmu yang mempelajari/membahas tentang tingkah laku manusia yang sedang dalam taraf perkembangan yang sangat pesat. Psikologi perkembangan memusatkan pembahasan terhadap perubahan-perubahan tingkah laku, dalam rangka pembentukan manusia yang lebih matang.

2. Pengertian perilaku, moral, dan perilaku moral
  • Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika. Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang.
  • Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
  • Perilaku moral berarti perilaku yang menyesuaikan dengan kode moral dari kelompok sosialnya. Perilaku moral dikendalikan oleh konsep moral , yakni aturan-aturan dalam beringkah laku, di mana anggota masyarakat berperilaku sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan oleh masyarakatnya.
3. Pengertian pribadi

Dalam penggunaan umum, kata pribadi (bahasa Inggris: self) mencakup suatu orang atau benda tertentu dari sebuah kumpulan. Sampai dengan abad ke-15, bahkan dewasa ini, dalam bidang statistik dan metafisika, pribadi berarti "tidak dapat dibagi", dan biasanya menggambarkan benda bilangan apa pun yang tunggal, namun kadang berarti "seseorang". Sejak awal abab ke-17, istilah "pribadi" menunjukkan keterpisahan, yakni kemasingdirian (individualism). Kepribadian merupakan keadaan atau sifat masing diri; yaitu seseorang yang terpisah atau berbeda daripada orang lain dan memiliki kebutuhan, tujuan dan hasratnya sendiri.

4. Pengertian peserta didik

Tahapan Perkembangan Perilaku dan Pribadi Peserta Didik Tahapan Perkembangan Perilaku dan Pribadi Peserta Didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu. Istilah lain dari peserta didik :
  • Siswa/siswi- istilah bagi peserta didik pada jenjang pendidikan menengah pertama dan menengah atas. Siswa adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Sebagai suatu komponen pendidikan, siswa dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, antara lain: pendekatan sosial, pendekatan psikologis, dan pendekatan edukatif/pedagogis.
  • Mahasiswa- Mahasiswa/mahasiswi istilah umum bagi peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi yaitu perguruan tinggi ataupun sekolah tinggi.
  • Taruna- Banyak digunakan Sekolah Militer atau yang menganut sistem militer, menurut KBBI berarti “pelajar (siswa) sekolah calon perwira”, beberapa Perguruan Tinggi Kedinasan juga menggunakan kata Taruna untuk menyebut Peserta Didik, diantaranya STPN Yogyakarta, STIP Jakarta, dan STP.
  • Warga belajar- adalah istilah bagi peserta didik yang mengikuti jalur pendidikan nonformal. Misalnya seperti warga belajar pendidikan keaksaraan fungsional
  • Pelajar- Pelajar adalah istilah lain yang digunakan bagi peserta didik yang mengikuti pendidikan formal tingkat dasar maupun pendidikan formal tingkat menengah.
  • Murid- merupakan istilah lain peserta didik tingkat taman kanak-kanak dan sekolah dasar.
  • Santri- adalah istilah bagi peserta didik suatu pesantren atau sekolah-sekolah salafiyah yang sangat mempunyai potensi.
B. Tahapan Perkembangan Perilaku  Peserta Didik

Menurut Piaget, pada umur antara 5 - 12 tahun konsep anak mengenai keadilan sudah tumbuh. Pengertian yang kaku tentang benar dan salah yang dipelajari dari orang tua menjadi  berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral.

Menurut Kohlberg, menamakan tingkat kedua dari perkembangan moral pada usia sekolah sebagai tingkat moralitas konvensional. Pada tingkat ini yang disebut juga sebagai moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik.

Menurut Hurlock ( 1978 ) bahwa dalam perkembangan perilaku moral itu ada empat elemen, sebagai berikut :

1. Peran hukum, kebiasaan/tata krama, dan aturan

Pada elemen ini, hal yang penting dalam belajar adalah menjadi individu yang bermoral sesuai yang diharapkan oleh kelompoknya. Antara kelompok yang satu dengan lainnya memiliki tolok ukur yang berbeda dalam menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah, karena berkaitan dengan kesejahteraan kelompoknya masing-masing.

Pada masa kanak-kanak, anak tidak terlalu dituntut untuk tunduk/patuh pada hukum dan kebiasaan sebagaimana kepauhan yang diharapkan pada anak yang lebih besar. Setelah memasuki usia sekolah, anak mulai dididik sedikit demi sedikit tentang hukum yang berlaku dalam lingkungannya. Di keluarga, anak dididik untuk patuh kepada orang tua dan mengasihi sesama anggota keluarga. Di, lingkungan, anak diajarkan/dididik untuk saling menghargai sesama teman sebayanya. Di sekolah, anak diajarkan tentang bagaimana mematuhi aturan sekolah.

2. Peran kata hati

Kata hati merupakan kontrol internal terhadap tingkah laku seseorang.  Hal ini merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting di masa anak usia sekolah. Kata hati merupakan sesuatu yang kompleks bagi nak-anak. Oleh karena itu pada awalnya tingkah laku mereka dikontrol oleh lingkungan. Terjadi pergantian yang perlahan-lahan dari lingkungan ke kontrol yang sudah terinternalisasi, pada saat itulah transisi sudah lebih lengkap.

3. Peran rasa bersalah dan malu

Setelah anak mengontrol tingkah lakunya dengan kata hati, maka kata hati dijadikan pedoman bagi tingkah laku mereka. Jika tingkah lakunya tidak sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh kata hatinya, maka mereka akan merasa bersalah, malu, atau bahkan merasa bersalah dan malu.

4. Peran interaksi sosial

Interaksi sosial dapat memberikan dasar-dasar dari tingkah laku yang diterima oleh masyarakat, memberikan motivasi melalui apa yang diterima dan tidak diterima kelompok. Jika anak tidak berinteraksi sosial, maka anak tidak akan tahu tenatang tingkah laku apa yang kiranya diterima oleh masyarakat/lingkungannya.

Melalui interaksi sosial, anak tidak hanya belajar mengenai kode-kode moral, tetapi merekea juga mempunyai kesempatan untuk belajar mengevaluasi tingkah laku mereka. Jika evaluasi menyenangkan maka anak akan termotivasi untuk taat pada standar moral yang telah ditetapkan lingkungan. Jika evaluasi tidak menyenangkan maka anak akan mengubah standar moral mereka dan menerima apa yang diharapkan lingkungan padanya.

C. Tahapan Perkembangan Pribadi Peserta Didik

Secara garis besar, proses perkembangan individu dapat dikelompokkan ke dalam 3 domain, sebagai berikut :

1. Proses Biologis
Proses biologis atau perkembangan fisik mencangkup perubahan-perubahan dalam tubuh individu seperti pertumbuhan otak, otot, sistem syaraf, struktur tulang, hormon, organ-organ indrawi, dan sejenisnya. Perubahan dalam cara menggunakan tubuh atau keterampila motorik dan perkembangan seksual juga dikelompokkan ke dalam domain ini. Tetapi domain perkembangan ini tidak mencangkup perubahan fisik karena kecelakaan, sakit, atau peristiwa-peristiwa khusus lainnya.

Lima ( 5 ) Tahap Perkembangan Psikoseksual Menurut Sigmund Freud 

Dalam Freudian psikologi, perkembangan psikoseksual adalah elemen sentral dari psikoanalisis teori dorongan seksual, bahwa manusia, sejak lahir, memiliki sebuah insting libido (energi seksual) yang berkembang dalam lima tahap. Setiap tahap - yang lisan, yang anal, yang phallic, yang laten, dan genital - ditandai dengan zona sensitif seksual yang merupakan sumber dari drive libidinal. Sigmund Freud mengusulkan bahwa jika anak mengalami frustrasi seksual dalam kaitannya dengan setiap tahap perkembangan psikoseksual, dia akan mengalami kecemasan yang akan bertahan sampai dewasa sebagai neurosis, gangguan jiwa fungsional.

a. Tahap  Oral/Lisan  ( sejak lahir - 1 tahun )

Pada tahap oral, mulut bayi adalah fokus dari libidinal gratifikasi yang berasal dari kenikmatan makan di payudara ibu dan dari eksplorasi lisan atau lingkungannya, yaitu kecenderungan untuk menempatkan objek dalam mulut. The id mendominasi, karena baik ego maupun ego yang super ini belum sepenuhnya dikembangkan, dan, karena bayi tidak memiliki kepribadian (identitas), setiap tindakan didasarkan pada prinsip kesenangan. Meskipun demikian, ego kekanak-kanakan adalah membentuk selama tahap lisan; dua faktor yang berkontribusi terhadap pembentukannya, dalam mengembangkan citra tubuh, dia adalah diskrit dari dunia luar, misalnya anak mengerti rasa sakit ketika diterapkan pada tubuhnya, sehingga mengidentifikasi batas-batas fisik antara tubuh dan lingkungan ; gratifikasi tertunda mengarah ke pemahaman bahwa perilaku tertentu memenuhi beberapa kebutuhan, misalnya menangis sangat memuaskan kebutuhan tertentu.

Menyapih adalah pengalaman kunci dalam tahap oral/lisan bayi dalam perkembangan psikoseksual, perasaan pertamanya kerugian akibat kehilangan keintiman fisik menyusui pada payudara ibu. Namun, penyapihan meningkatkan kesadaran diri bayi bahwa ia tidak mengontrol lingkungan, dan dengan demikian belajar dari menunda kepuasan, yang mengarah pada pembentukan kapasitas kemerdekaan (kesadaran batas diri) dan kepercayaan (perilaku terkemuka untuk kepuasan). Namun, menggagalkan dari mulut-tahap - terlalu banyak atau terlalu sedikit pemuasan hasrat - mungkin menyebabkan mulut-tahap fiksasi, ditandai dengan pasif, mudah tertipu, ketidakdewasaan, optimisme realistis, yang dimanifestasikan dalam konsekuen kepribadian manipulatif untuk ego malformasi.

Dalam kasus terlalu banyak gratifikasi, anak tidak belajar bahwa ia tidak mengontrol lingkungan, dan gratifikasi yang tidak selalu langsung, sehingga membentuk kepribadian yang belum matang. Dalam kasus terlalu sedikit gratifikasi, bayi mungkin menjadi pasif setelah mengetahui bahwa gratifikasi tidak akan datang, meski telah menghasilkan perilaku memuaskan. [5]

b. Tahap anal ( 18 bulan - 3 tahun )

Pada tahap anal, zona sensitif seksual bayi mengalami perubahan dari mulut (saluran pencernaan atas) ke anus (saluran pencernaan yang lebih rendah), sementara ego pembentukan terus. Toilet training adalah kunci pengalaman anal-tahap anak, terjadi pada sekitar usia dua tahun, dan hasil dalam konflik antara Id (menuntut kepuasan segera) dan Ego yang (menuntut kepuasan tertunda) dalam menghilangkan limbah/kotoran dalam tubuh, dan penanganan kegiatan terkait ( misalnya memanipulasi kotoran, mengatasi tuntutan orangtua). Gaya pengasuhan mempengaruhi resolusi konflik Id-Ego, yang dapat berupa bertahap dan psikologis lancar, atau yang dapat tiba-tiba dan psikologis trauma.

Resolusi ideal konflik Id-Ego dalam penyesuaian anak moderat, tuntutan orangtua yang mengajarkan nilai dan pentingnya kebersihan fisik dan ketertiban lingkungan, sehingga menghasilkan anak mampu belajar mandiri.

c. Tahap phallic ( 3 -6 tahun )

Pada tahap phallic,  zona sensitif seksual yang utama yaitu alat kelamin anak. Hal ini dalam tahap pengembangan infantil ketiga bahwa anak-anak menjadi sadar tubuh mereka, tubuh anak-anak lainnya, dan badan orang tua mereka; mereka memuaskan rasa ingin tahu fisik dengan membuka baju dan menjelajahi satu sama lain dan alat kelamin mereka, dan begitu mempelajari fisik (seksual) perbedaan antara "laki-laki" dan "perempuan" dan jender perbedaan antara "anak" dan "gadis".

d. Tahap latency ( 6 tahun - masa pubertas )

Tahap latent terjadi saat hasrat oedipal ditekan dan mereda. Ini terjadi sampai masa pubertas. Sebenarnya, penelitian membuktikan bahwa hasrat seksual justru meningkat sampai puncaknya pada masa pubertas. Represi seksualitas karena dianggap tabu pada masa hidup Freud, membuat hasrat seksual harus dikendalikan dan ditekan

e. Tahap genital

Tahap kelima perkembangan psikoseksual adalah tahap genital yang mencakup pubertas melalui kehidupan dewasa, dan dengan demikian merupakan sebagian dari kehidupan seseorang; tujuannya adalah detasemen psikologis dan kemerdekaan dari orang tua. Tahap genital memberi orang kemampuan untuk menghadapi dan menyelesaikan konflik masa psikoseksual yang tersisa. Seperti dalam tahap phallic, tahap genital berpusat pada alat kelamin, tetapi seksualitas adalah konsensual dan dewasa, daripada soliter dan kekanak-kanakan. Perbedaan psikologis antara tahap phallic dan genital adalah bahwa ego didirikan pada yang terakhir; perhatian orang tersebut bergeser dari gratifikasi primer-drive (naluri) untuk menerapkan proses-pemikiran sekunder untuk memuaskan keinginan simbolis dan intelektual dengan cara persahabatan, hubungan cinta, keluarga dan tanggung jawab orang dewasa.

2. Proses Kognitif

Proses ini melibatkan perubahanperubahan dalam kemampuan dan pola berpikir, kemahiran bahasa, dan cara individu memperoleh pengetahuan dari lingkungannya. Aktivitas-aktivitas seperti mengamati dan mengklasifikasikan benda-benda, menyatukan beberapa kata menjadi satu kalimat, menghafal sajak atau doa, memecahkan soal-soal matematika, dan menceritakan pengalaman merefleksikan peran kognitif dalam perkembangan anak.

Empat ( 4 ) Tahap perkembangan kognitif menurut piaget

a.  Periode sensorimotor ( 0 - 2 tahun )Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:

  • Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
  • Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
  • Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan. 
  • Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
  • Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
  • Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
b. Tahapan praoperasional ( 2 - 6 tahun )Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
 

c. Tahapan operasional konkrit ( 6 - 12 tahun )Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
  • Pengurutan; kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
  • Klasifikasi; kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
  • Decentering; anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
  • Reversibility; anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
  • Konservasi; memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
  • Penghilangan sifat Egosentrisme; kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
d. Tahapan operasional formalTahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.

3. Proses Psikososial

Proses ini melibatkan perubahan-perubahan dalam aspek perasaan, emosi dan kepribadian individu serta cara yang bersangkutan berhubungan dengan orang lain

Teori Psikososial tentang Kepribadian

Menurut Erikson Perkembangan berlangsung melalui delapan tahap . Tahap yang berurutan itu tidak ditetapkan menurut suatu jadwal kronologis yang ketat. Erikson berpendapat bahwa setiap anak memiliki jadwal waktunya sendiri.

Erikson membagi tahap-tahap itu berdasarkan kualitas dasar ego pada masing-masing tahap yaitu:

a. Kepercayaan Dasar vs. Kecurigaan Dasar

Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik oral dan ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan membuang kotoran dengan santai. Kebiasaan itu berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling awal bagi berkembangnya suatu perasaan identitas psikososial. Melalui pengalaman dengan orang dewasa, bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka, tetapi mungkin yang lebih penting, ia mempercayai dirinya sendiri. Kepastias semacam itu harus mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar yakni, kecurigaan dasar.

Pengharapan merupakan kebajikan paling awal dan paling esensial yang melekat dalam hidup. Fondasi pengharapan pertama terletak pada hubungan dengan orang tua yang memberikan pengalaman-pengalaman seperti ketenangan, makanan dan kehangatan.

Pada saat yang sama, ia mengembangkan kemampuan untuk membuang pengharapan yang dikecewakan dan menemukan pengharapan dalam tujuan dan kemungkinan pada masa mendatang.

Menurut Erikson, pengharapan adalah keyakinan yang bersifat menetap akan kemungkinan dicapainya hasrat-hasrat kuat.

Tahap pertama kehidupan ini merupakan tahap ritualisasi numinous yaitu, perasaan bayi akan kehadiran ibu, dalam hal ini pandangannya, pegangannya, sentuhannya, teteknya atau “pengakuan atas dirinya”. Bentuk ritual numinous yang menyimpang dan terungkap dalam kehidupan dewasa berupa pemujaan terhadap pahlawan secara berlebih-lebihan atau idolisme.

b. Otonomi vs. Perasaan Malu dan Keragu-Raguan

Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi yang menuntut otonomi dalam melakukan pilihan bebas. Rasa mampu mengendalikan diri akan menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki kemauan baik dan bangga yang bersifat menetap. Sebaliknya rasa kehilangan kontrol diri dapat menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang bersifat menetap.

Nilai kemauan muncul pada tahap ke dua kehidupan ini. Anak belajar dari dirinya sendiri dan dari orang. Kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban. Kemauan adalah kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bebas, memutuskan, melatih mengendalikan diri dan bertindak yang terus meningkat.

Ritualisasi menyebut ritualisasi tahap ini sifat bijaksana, karena anak mulai menilai dirinya sendiri dan orang lain serta membedakan antara benar dan salah.

Penyimpangan ritualisme pada tahap ini adalah legalisme, yakni pengagungan huruf ketentuan hukum daripada semangatnya, mengutamakan hukuman daripada belas kasih.

c. Inisiatif vs. Kesalahan

Tahap psikososial ketiga ialah tahap inisiatif yaitu suatu masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab. Selama tahap ini anak menampilkan diri lebih maju dan lebih seimbang secara fisik maupun kejiwaan.

Tujuan adalah nilai yang menonjol pada tahap perkembangan ini. Kegiatan utama anak dalam tahap ini adalah bermain, dan tujuan tumbuh dari kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha, kegagalannya serta eksperimen dengan alat permainannya.

Masa bermain ini bercirikan ritualisasi dramatik. Anak secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermain, memakai pakaian, meniru kepribadian orang dewasa dan berpura-pura menjadi apa saja. Keterasingan batin yang dapat timbul pada masa kanak-kanak ini ialah suatu perasaam bersalah.

Padanan negatif dari ritualisasi dramatik adalah ritualisme impersonasi sepanjang hidup, yaitu melakukan tindakan yang tidak mencerminkan kepribadiannya yang sejati.

d. Kerajinan vs. Inferioritas

Pada tahap ini, anak harus belajar mengontrol imjinasinya yang sangat kaya, dan mulai menempuh pendidikan formal. Bahaya dari tahap ini ialah anak bisa mengembangkan perasaan rendah diri apabila ia tidak berhasil menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru dan orangtua.

Nilai kompetensi muncul pada tahap kerajinan ini. Rasa kompetensi dicapai dengan menerjunkan diri pada pekerjaan dan penyelesaian tugas, yang pada akhirnya mengembangkan kecakapan kerja.

Usia sekolah merupakan tahap ritualisasi formal, masa anak belajar bekerja secara metodis. Penyimpangan ritualismenya dimasa depan adalah formalisme, berwujud pengulangan, formalitas yang tidak berarti.

e. Identitas vs. Kekacauan Identitas

Selama masa [adolesen], individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui. Inilah masa dalam kehidupan ketika orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia pada masa yang akan datang.

Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan identitas ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat dan ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang yang sependapat, dalam lingkungan sosial, serta menjaga pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan. Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta membentuk identitas psikososial seseorang.

Peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis dilain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja, mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan atau kekacauan identitas.

Istilah krisis identitas menunjuk pada perlunya mengatasi kegagalan yang bersifat sementara itu untuk selanjutnya membentuk suatu identitas yang stabil atau sebaliknya suatu kekacauan peranan. Kesetiaan adalah pondasi atas dasar mana terbentuk suatu perasaan identitas yang bersifat kontinyu. Ritualisasi yang menyertai tahap adolesen adalah ritualisasi ideologi. Penyimpangan ritualisasinya adalah totalisme.

f. Keintiman vs. Isolasi

Tahap dimana orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang untuk dicintai dan diajak menngadakan hubungan seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam suatu hubungan kepercayaan. Bahaya pada keintiman ini adalah isolasi.

Ritualisasi pada tahap ini adalah afiliatif yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan dan cinta. Penyimpangan ritualismenya adalah elitisme.

g. Generativitas vs. Stagnasi

Ciri tahap ini adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan, keturunan, produk, ide serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami stagnasi. Nilai pemeliharaan berkembang dalam tahap ini.

Ritualisasi dari tahap ini ialah sesuatu yang generasional, yakni ritualisasi peranan orang tua, produksi, pengajaran dengan mana orang dewasa bertindak sebagai penerus nilai-nilai ideal kepada kaum muda. Penyimpangan dari ritualisasi ini adalah autoritisme.

h. Integritas vs. Keputusasaan

Tahap terakhir dalam proses epigenetis perkembangan disebut integritas. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda, produk, ide, orang dan setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidup.

Lawan integritas adalah keputusasaan tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi sosial dan historis, belum lagi kefanaan hiidup di hadapan kematian.

Kebijaksanaan adalah nilai yang berkembang dari hasil pertemuan antara integritas dan keputusasaan dalam tahap kehidupan yang terakhir ini.

Ritualisasi usia lanjut dapat disebut integral, ini tercermin dalam kebijaksanaan segala zaman. Sebagai ritualisme yang padanannya, Erikson mengusulkan sapientisme.

Sumber bacaan : Wikipedia

Demikian tentang Tahapan Perkembangan Perilaku dan Pribadi Peserta Didik. Semoga bermanfaat.
Sumber https://www.websitependidikan.com/

Belum ada Komentar untuk "Tahapan Perkembangan Perilaku dan Pribadi Peserta Didik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel