Menag: Islam dan Budaya, Duluan Mana?
Peresmian gedung SBSN dan Seminar Nasional dengan tema "Islam dan Budaya sebagai Instrumen Integrasi Bangsa" oleh Menteri Agama di IAIN Surakarta Senin, 4 Maret 2019 dikemas dengan pola talkshow. Pola ini sangat efektif bagi Menteri Agama untuk menyampaikan pesan-pesannya. Terjadi interaksi antara Menteri dengan moderator dan sebagian audiens.
Dengan background mozaik keraton Jawa dan gerobak angkring yang penuh dengan jajanan ala hik (nasi kucing, gorengan, wedang jahe, dan lainnya), perbincangan Islam dan budaya menjadi lebih hidup. Menteri Agama menyampaikan pandangan-pandangannya dengan sangat cair dan mengalir, bak hujan mutiara hikmah. Di gerobak angkringan ada seorang penjual dengan memakai baju batik lurik dan blangkon--yang diperankan salah satu pegawai IAIN Surakarta yang sangat ingin bertemu dan berfoto dengan Menteri Agama. Latar panggung tersebut sengaja dikemas untuk menggambarkan kedekatan pejabat negara dengan rakyat secara tidak berjarak. Dan memang benar, Menteri Agama duduk seperti sedekat dua ujung jari dengan "penjual angkringan" tadi.
Dalam talkshow, Menteri menyampaikan banyak hal seputar Islam dan budaya. Beliau memulai dengan pertanyaan kepada audiens manakah yang lebih dulu ada antara Islam dan budaya? Islam dulu atau budaya dulu? Menurut Menteri, semua wahyu agama pastilah turun kepada sebuah komunitas. Dan komunitas pastilah memiliki struktur budaya dengan seluruh gugusan nilai-nilai. Dengan jawaban ini, Menteri ingin menjelaskan bahwa ketika agama turun tidak serta-merta menghilangkan budaya-budaya yang sudah ada. Ada nilai-nilai universal di budaya dan di agama yang saling mengambil dan memberi (take and give).
Itulah sebabnya, kata Menteri Agama, keragaman budaya semestinya harus membuat kita lebih arif dan punya kemampuan untuk saling menghargai. Demikian pula dalam agama, ada keragaman pemahaman yang memproduksi keragaman implementasi. Sejauh itu tidak esensial, maka keragaman itu ditoleransi sebagai kekayaan budaya yang berguna bagi serbuk persatuan bangsa.
Menteri memberi contoh tentang praksis Islam yang berbeda-beda di antara sejumlah negara. Islam praksis di Arab, misalnya, sangat berbeda dengan Islam di Nusantara seperti dalam soal penghargaan kepada kaum perempuan. Di Arab, perempuan dihargai bukan dengan bekerja di luar rumah, tapi di dalam rumah. Tapi di Indonesia, perempuan bekerja dengan jam lebih panjang di semua bidang. Struktur budaya menentukan jenis Islam praksis di antara bangsa-bangsa Muslim yang beragam.
Pendapat Menag ini mirip dengan Menteri Agama era Soeharto Munawir Sadzali soal perempuan Jawa yang semestinya menerima warisan lebih besar dibanding laki-laki karena budaya kerja yang berbeda. Munawir Sadzali dulu menyatakan faraidh tidak terpenuhi syarat pelaksanaannya bagi perempuan dengan struktur budaya semacam ini.
Tentu saja, banyak contoh lain yang telah dikemukakan Menteri. Poin dari pikiran ini adalah moderasi beragama berangkat dari moderasi budaya. Makin arif secara budaya, maka akan memproduksi kearifan secara agama. Dan pandangan ini pada ujungnya akan mendorong peran agama dan budaya sebagai instrumen integrasi bangsa. Semua PTKIN sudah seharusnya menjadikan budaya dan Islam sebagai titik tolak upaya-upaya Kemenag mempromosikan moderasi beragama ke dalam masyarakat luas.
Oleh: Mudofir Abdullah, Rektor IAIN Surakarta
Belum ada Komentar untuk "Menag: Islam dan Budaya, Duluan Mana?"
Posting Komentar