Memaknai Terbitnya PP Pendidikan Tinggi Keagamaan
Presiden Jokowi kembali menunjukkan keberpihakannya terhadap perkembangan pendidikan tinggi keagamaan. Pada akhir periode pemerintahan jilid pertamanya, Presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan (PTK) per 3 Juli 2019.
Peraturan yang dikukuhkan melalui Lembaran Negara Tahun 2019 Nomor 120 dan mulai diundangkan per tanggal 8 Juli 2019 itu merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. PP yang terdiri atas 5 bab dan 67 pasal ini menjadi titik awal sejarah regulasi baru bagi penataan dan pengembangan Pendidikan Tinggi Keagamaan (PTK), termasuk Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), ke depan yang lebih baik.
Diakui bahwa basis regulasi penyelenggaraan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), hingga sebelum terbitnya PP ini, seringkali masih “menempel” dan menjadi “makmum” pada pendidikan tinggi umum (PTU) yang bisa jadi seringkali “dipaksakan”. Sebab, antara PTKI dengan PTU memiliki karakter dan domain yang berbeda. Dengan terbitnya PP ini, eksistensi PTKI ke depan harus menjadi “imam” dalam penyeleggaraan pendidikan tinggi keagamaan.
Beragam jenis pendidikan, baik pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan vokasi, pendidikan profesi maupun jenis pendidikan lainnya merupakan satu kesatuan dalam bingkai Sistem Pendidikan Nasional. Ibarat sebuah rumah yang bernama Pendidikan Nasional, di dalamnya terdapat kamar yang berbeda-beda: ada kamar pendidikan umum, pendidikan keagamaan dan pendidikan lainnya, yang setiap kamar itu memang memiliki ciri dan kegunaannya masing-masing, yang tidak perlu disamakan dan dipaksanakan sama, baik dalam kadar ukuran, orientasi, dan lainnya. Oleh karenanya, kehadiran PP ini sungguh memiliki makna yang demikian dalam bagi PTKI.
Kelahiran PP ini, menurut hemat penulis, setidaknya memberikan makna pada tiga hal penting, yakni penguatan khittah PTKI, otoritasi pengelolaan PTKI, dan penyelenggaraan PTKI.
Pertama, penguatan khittah PTKI. Dalam sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, PTKI merupakan transformasi dan wujud modernisasi dari sistem pendidikan pondok pesantren tingkat tinggi yang kemudian berbentuk menjadi ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama). ADIA yang pada awal kelahirannya untuk menyediakan guru-guru agama Islam pada sekolah, penyuluh agama di masyarakat dan tenaga birokrasi, khususnya di Kementerian Agama, kemudian bertransformasi menjadi IAIN (Institut Agama Islam Negeri) karena kebutuhan masyarakat terhadap sarjana agama yang demikian meningkat.
Sejak tahun 2002, beberapa IAIN bertransformasi menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) terutama untuk merespon relasi agama dengan ilmu pengetahuan, termasuk untuk mencetak kader-kader mumpuni di bidang agama yang menguasai di bidang keilmuan lainnya. Melihat alur historis tersebut, khittah PTKI sesungguhnya adalah melahirkan kader-kader mumpuni di bidang agama Islam yang memiliki kecakapan di berbagai bidang.
Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, dalam berbagai kesempatan menyebutkan bahwa “DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)” dari PTKI adalah kajian keislaman (Islamic studies). Oleh karenanya, menurut hemat penulis, sejumlah program studi umum, seperti sains, teknologi, kedokteran dan lainnya yang diselenggarakan oleh UIN sesungguhnya tidaklah berdiri sendiri yang lepas dari konteks kajian keislamannya. Akan tetapi, bagaimana program studi umum itu mampu merelasikan antara Islam dan sains yang lebih produktif. Dengan jati diri seperti ini, PTKI terutama dalam bentuk UIN diharapkan akan melahirkan sosok muslim yang di samping ahli di bidang keislaman juga ahli di bidang sains, seperti para saintis muslim abad pertengahan Al-Khawarizmi, Ibnu Bathutah, Ibnu Sina, dan lain-lain.
Penguatan terhadap khittah PTKI telah dikuatkan dalam PP ini. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 tentang ketentuan umum, PTK disebutkan sebagai “Pendidikan tinggi yang diselenggarakan untuk mengkaji dan mengembangkan rumpun ilmu agama serta berbagai rumpun ilmu pengetahuan”. Dalam Pasal 12 disebutkan bahwa PTK dapat menyelenggarakan pendidikan profesi hanya di bidang keagamaan. Bahkan, dalam Pasal 17 disebutkan bahwa penyelenggaraan program studi di luar rumpun keilmuan agama pada PTK itu jumlahnya tidak boleh lebih banyak dari program studi rumpun ilmu agama. Ini menunjukkan bahwa PTKI memiliki khittah sebagai lembaga perguruan tinggi yang melahirkan kader ahli keislaman semata, juga kader ahli keislaman yang memiliki penguasaan di bidang lainnya.
Kedua, PP ini menjadi landasan yang begitu nyata bagi Kementerian Agama sebagai pemilik otoritas penyelenggaraan PTKI. Pasal 4 menyebutkan Kementerian Agama bertanggung jawab atas penyelenggaraan PTK, baik dalam pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, evaluasi, pembinaan, maupun koordinasi. Ini menunjukkan bahwa Kementerian Agama akan menjadi “imam” dalam hal penyelenggaraan PTKI dan PTKI akan terus menjadi “milik” Kementerian Agama.
Otoritas Kementerian Agama dalam penyelenggaraan PTKI ini sudah semestinya demikian. PP yang lebih dulu hadir, di antaranya PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, menyebutkan secara sharih bahwa penyelenggaraan Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, baik pada jalur formal, nonformal maupun informal, menjadi kewenangan Kementerian Agama. Hanya saja, dalam PP 55 tahun 2007 ini lebih banyak mengatur jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Demikian juga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Dalam Pasal 6 menyebutkan “Muatan keagamaan dalam Buku pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.” Intinya, Kementerian Agama memiliki kewenangan yang demikian besar dalam pengelolaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan hingga perbukuannya, mulai jenjang usia dini, pendidikan dasar dan menengah, hingga pendidikan tinggi.
Ketiga, PP tentang PTK ini memberikan ruang yang demikian besar dalam melakukan penataan penyelenggaraan PTKI yang lebih baik. Pasca terbitnya PP ini perlu dirumuskan dan dilahirkan sejumlah regulasi turunannya sebagai basis penyelenggaraan dan operasionalisasi PTKI. Sejumlah regulasi baik yang hadir dari ikhtiar Kementerian Agama maupun Kementerian Ristek-Dikti pada aspek-aspek tertentu perlu diratifikasi dengan melahirkan regulasi baru oleh Kementerian Agama. Jika berdasarkan tuntutan secara letterlijk dari pasal-pasal dalam PP ini, sekurang-kurangnya terdapat 21 (dua puluh satu) Peraturan Menteri Agama yang perlu segera dirumuskan. Peraturan Menteri Agama yang menjadi turunan PP ini menyangkut banyak hal, baik terkait dengan pendirian, pembukaan program studi, Standar PTK, akreditasi, tridharma perguruan tinggi, pengelolaan dan lain-lain. Sungguhpun demikian, jumlah itu akan bisa berkurang, bahkan bisa juga bertambah, setelah dilakukan sinkronisasi dan pembahasan lebih mendalam atas PP ini.
Secara lebih spesifik dijelaskan dalam Bab IV tentang Ketentuan Lain-Lain pada Pasal 64, diatur tentang penilaian dan penetapan angka kredit dosen hingga professor pada rumpun ilmu agama sepenuhnya menjadi kewenangan Kementerian Agama. Ketentuan ini merupakan political-will yang sangat luar biasa yang membutuhkan konsentrasi dan keseriusan dalam penataan regulasi, penyiapan infra-stuktur, dan penyelenggaraannya secara maksimal. Sebab, penilaian angka kredit akan berdampak terhadap segala hal penyelenggaraan PTKI, baik aspek pendidikan dan pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan publikasi ilmiah.
Di sisi lain, Kementerian Agama juga harus segera berjibaku dengan waktu yang disediakan. Sebab, Pasal 66 dalam PP tersebut menyebutkan “Semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.” Masa 2 (dua) tahun merupakan masa yang tidak terlalu lama untuk menyiapkan semua regulasi yang diamarkan dalam PP tersebut. Tentu ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi seluruh stakeholder PTKI untuk mewujudkan komitmen yang telah dimulai dengan ditorehkannya PP ini. Semoga.
Suwendi (Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kementerian Agama)
Belum ada Komentar untuk "Memaknai Terbitnya PP Pendidikan Tinggi Keagamaan"
Posting Komentar